Selasa, 10 Januari 2012

Struktur Pasar Industri Musik itu seperti apa sich?
Hendi Dwi IstantoSelasa, 10 Januari 2012 0 komentar

di copas dari ekonomgila.blogspot.com dg judul Struktur Pasar Industri Musik
Oleh: Sandy Juli Maulana*)

Sejak liberalisasi mulai dicanangkan serta digugat di negara ini, liberalisasi dalam hal industri permusikan tanah air sudah berjalan sangat lama. Sejak dahulu hingga sekarang kita menjadi konsumen dari produk musik domestik dan produk musik mancanegara. Sekarang kita mengenal berbagai aliran musik yang menunjukan preferensi dari negara barat ataupun yang sungguh menggema akhir-akhir ini, Korea dan Jepang.

Ketika seorang yang menjadi penikmat musik ditanya mengenai preferensinya tentang produk musik, mereka akan cenderung menjawab dengan berbagai alasan yang tidak jelas. Mulai dari musik luar yang lebih keren, player yang lebih ganteng, lebih ber-skill, lebih berkualitas, lebih gaul, bahkan ada yang mengatakan hanya suka saja. Itulah yang di dalam analisis ekonomi disebut preferensi individu terhadap suatu barang. Di sisi lain, banyak orang yang mencintai musik domestik karena menurut mereka lebih mencintai budaya dalam negeri, lebih enak didengar, bahkan masih ada yang setia dengan musik-musik tradisional. Lantas mengapa sulit bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dunia musik Indonesia dan dunia? Analisis struktur-perilaku-kinerja sedikit membantu mencoba menganalisis mengapa konstelasi perubahan di industri musik sangat cepat, bahkan bisa sangat lambat. Dan mengapa kita jarang sekali mengekspor musik “modern” ke luar negeri. Serta musik tradisional yang kadang mampu melakukan penetrasi ke pasar dunia.

Analisis struktur-perilaku-kinerja adalah suatu kerangka pemikiran yang menjelaskan bagaimana struktur dari suatu industri akan menentukan bagaimana perilaku dari masing-masing perusahaan yang ada dalam tiap industri. Hal tersebut pada akhirnya akan menentukan bagaimana kinerja si perusahaan tersebut. Tetapi hubungan antar ketiga variabel tidak bersifat linear, tetapi dalam hubungan yang sangat rumit.

Dalam analisis ekonomi, konsep pasar dikenal menjadi dua, yaitu pasar berdasarkan produk dan geografis. Berdasarkan produk dengan melihat produk tersebut apakah mempunyai sifat close substitute. Sedangkan pasar geografis merujuk pada letak geografis suatu pasar. Dalam hal ini wujud pasar sebagai institusi dilengkapi dengan kondisi fisik.

Kemudian kita dapat mengetahui bahwa untuk pasar musik berdasarkan definisi geografis dapat dibagi menjadi dua, domestik dan asing. Sedangkan dari sisi produk, ketika berbicara pasar kita harus mengetahui dulu konteks dari suatu pasar produk itu apakah menggantikan dalam hal apa. Jika pasar musik secara umum, maka musik rock dan jazz ada dalam satu pasar. Tetapi ketika berbicara musik metal, maka musik jazz dan pop tidak termasuk ke dalamnya, selebihnya produk dihiasi beragam aliran mulai dari trash metal, NU Metal, heavy metal, hingga death metal. Apalagi berbicara musik dunia mulai dari bossa, ska, latin, dangdut, rap, hip-hop, fusion, swing, blues, glam rock, punk, dan banyak lainnya.

Lantas bagaimana pasar domestik musik di Indonesia? Jika melihat sisi historis, dunia permusikan Indonesia pernah diramaikan oleh berbagai genre, catat saja mulai dari “Sang Legenda” Koes Ploes, dedengkot rock tanah air God Bless, hingga lantunan merdu Ebiet G. Ade, Iwan Fals, bahkan pada era 80 dan 90-an muncul istilah lady rocker yang tersemat pada beberapa penyanyi wanita Indonesia. Maju sedikit, pada era tersebut muncul satu bintang Indonesia yang masih eksis hingga sekarang ini, Slank. Kemudian diikuti berbagai band lainnya seperti Dewa 19, Gigi, Sheila on 7, sang legenda Trash Metal Indonesia Jamrud, Padi, bahkan Peter Pan. Dan pada era beberapa tahun belakangan muncul band-band lain macam ST-12, Letto, Sembilan band, The Virgin, hingga SM*SH dan banyak lagi yang tentu saja tidak bisa disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.

Dari sekian banyak grup musik yang hadir dan pergi begitu saja, menarik untuk mengetahui apakah struktur industrinya? Bagaimana perilaku mereka? Tentu saja kita tidak membicarakan produksi oleh label rekaman. Tetapi masalah preferensinya. Neoklasik menjawab bahwa struktur pasar persaingan sempurna yang menjadi acuan analisis setidaknya memiliki beberapa karakteristik. Jumlah produsen dan konsumen yang ada sangat banyak. Kemudian barang yang disediakan homogen. Lalu, informasi yang ada mengalir sempurna dan tidak ada halangan untuk keluar masuk industri. Terakhir, price taker.

Apakah banyaknya grup musik dan solo atau duo yang menawarkan musik lantas membuat pasar menjadi persaingan sempurna? Belum tentu. Hal ini tergantung dari sudut pandang kita mengenai musik tersebut. Inilah yang penulis tekankan bahwa bagaimana sebenarnya rasionalitas dalam pemilihan musik tersebut di Indonesia. Apakah para konsumen hanya menikmati musik sebagai musik sebagai hiburan saja, atau lebih dari itu. Jika musik dipandang hanya sebagai musik saja, maka wajar analisisnya mendekati persaingan sempurna. Sebab, karakteristik pertama dan kedua telah terpenuhi. Penikmat hanya menempatkan musik sebagai hiburan. Apapun jenis musiknya “saya suka” yang penting menghibur. Musik tidak dibedakan berdasarkan aliran saja. Namun ketika aliran musik dimasukan sebagai produk maka hal lain akan muncul.

Aliran musik rock bukanlah substitusi dari jazz, atau genre pop bukanlah substitusi dari produk musik ska. Seseorang pasti enggan mengganti playlist-nya yang berisi full-album Casiopea dengan album dari ST-12. Karena mereka berada dalam pasar yang berbeda. Sehingga cukup rumit untuk membahas jika produk individual dimasukkan dalam analsis. Oleh karena itu, kita dapat berfokus pada apakah aliran jazz merupakan substitusi aliran rock, atau dalam istilah lain adalah satu dengan yang lain saling menggantikan kedudukannya.

Pada era 70, 80, 90an, menurut cerita para orang tua, masing-masing penikmat aliran memiliki penggemar masing-masing, sehingga jangan salah komentar mengenai kualitas musik sangat membanggakan kualitas musisi pada tahun-tahun tersebut. Musisi pada era tersebut dianggap lebih memiliki idealisme dalam berkarya, walaupun menurut penulis penilaian tersebut masih kurang logis, sebab masih bermuatan emosional. Menurut penulis, model monopolistik dengan ciri diferensiasi produk adalah model yang tepat untuk menjelaskan pada era-era tersebut.

Berbeda dengan persaingan sempurna dan persaingan sempurna, model oligopoli menjelaskan ketergantungan antar perusahaan dalam suatu industri. Tetapi apakah dalam masing-masing genre memiliki ketergantungan? Apakah tiap musisi akan mencoba menghasilkan karya yang berbeda sebagai respon atas strategi musisi lainnya. Sederhananya, jika Peter Pan mengeluarkan album dengan nuansa sedikit lebih religius atau yang sering kita kenal dengan album religi, apakah lantas para musisi Jazz akan mengikuti membuat album religi? Atau malah membuat karya musik yang menjauhkan dari sisi religius. Mungkin beberapa musisi akan mencoba mengikuti tren di pasar, tetapi oleh karena adanya suatu fenomena rasionalitas yang tidak bekerja maka asumsi ekonomi tidak dapat bekerja untuk menganalisis industri musik indonesia.

Setidaknya terdapat tiga hal yang terjadi dalam industri musik tanah air. Pertama, rasionalitas yang menjadi acuan teori klasik/ neoklasik kadang tidak bekerja. Procedural rationality atau bounded rationality mungkin dapat digunakan untuk melihat kasus tersebut. Sehingga rasionalitas kadang tidak terdapat pada pasar musik tanah air. Kedua, teknologi yang semakin canggih membuat menjamurnya Band Indie di berbagai daerah hingga pelosok. Dahulu jika ingin memiliki suatu album maka harus datang ke kota besar, Jakarta kemudian rekaman memakai pita 16 inch dengan model analog untuk merekam dan menjadikannnya kaset Tape. Belum lagi masalah pemasaran yang mesti melibatkan dana besar. Tetapi sekarang dengan teknologi canggih, mudah saja bagi band membuat suatu mini album dan menyebarkannya, tinggal diunggah di situs kemudian sebarkan, jadilah artis. Implikasi teoritis dan praktis adalah semakin pudarnya entry-barrier dalam industri musik.

Ketiga, dinamika industri musik pasca era 90an ditandai dengan suatu model genre-leadership, yaitu suatu grup yang mampu menembus pasar mainstream dengan aliran fresh akan diikuti oleh grup lainya yang seakan menjadi imitator si pionir. Hal ini dapat dilihat dari pada awalnya merebaknya band ala Kangen Band dan kemudian akhir-akhir ini kita melihat fenomena boyband dan girlband yang menurut penulis hasil penetrasi awal SM*SH dengan penuh cercaan. Keempat, pendekatan akhir dari struktur-perilaku-kinerja adalah bagaimana kinerja perusahaan tersebut. Hal ini yang cukup sulit untuk mengukurnya, apakah kinerja itu adalah penjualan album, atau Ring back tone, atau kepuasan diri karena telah mampu menciptakan karya yang memuaskan bagi diri sendiri.

Bagaimana dengan model monopoli? Jamrud setidaknya dipandang sebagian besar memonopoli industri musik Trash Metal. Jamrud berhasil melakukan penetrasi musik metal di kalangan mainstream musik tanah air. Namun menurut penulis, Jamrud tidak semata-mata dapat dipandang sebagai monopolis Trash Metal karena masih ada sebenarnya musisi Trash Metal yang menghasilkan karya tersebut. Sehingga Jamrud pantas diposisikan pada dominant-firm.hal serupa terjadi pada raja dangdut, Rhoma Irama yang menikmati posisi dominan pada kancah musik dangdut.

Satu-satunya yang benar-benar memonopoli adalah lagu wajib nasional. Monopoli yang dilakukan secara legal oleh negara. Kita tidak mungkin mengganti lagu yang mengiringi upacara bendera ketika pasukan pengibar menaikkan bendera merah putih dengan Barcelona-nya Fariz RM atau dengan Through the Fire and Flames dari Dragonforce yang jaya di ranah speed metal. Kemudian untuk mendapatkan pengakuan karya sebagai lagu wajib juga cenderung sulit. Sehingga lagu wajib menjadi monopoli dalam kasus monopoli yang diberikan oleh negara. Kecuali pak Presiden yang gencar promo album barunya ingin menggantikan lagu Indonesia Raya yang mengiringi upacara dengan “Bersatu dan Maju” ciptaan Pak Presiden. Tentu saja sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

*)Sandy Juli Maulana

Investasi Emas.. Hmm baikkah???
Hendi Dwi Istanto 0 komentar


di copas dari http://ekonomgila.blogspot.com/2012/01/investasi-emas-baikkah.html 
Oleh: Adib*, 876 kata.

Belakangan, cukup marak masyarakat memperbincangkan investasi dengan emas sebagai salah satu komoditinya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pemberitaan dan tulisan baik dari media cetak, koran, bahkan di berbagai seminar yang memperbincangkan masalah investasi emas ini. Emas lebih dipilih oleh para investor daripada komoditi investasi lainnya lantaran emas tidak terpengaruh oleh inflasi (zero inflation effect). Selain itu, harga emas yang terus membumbung naik dalam 10 tahun terakhir ini, hingga saat ini nilainya berada di atas 500.000 per gram, membuat para investor tergiur untuk menginvestasikan modalnya pada logam mulia ini.

Jika kita lihat grafik pergerakan harga emas, secara umum harganya mengalami kenaikan, walaupun tidak dipungkiri, ada juga penurunannya, seperti pada tahun 1980an, tahun 1998, karena adanya krisis moneter, maupun di tahun 2008 karena pengaruh krisis yang melanda Amerika Serikat waktu itu. Harga emas melonjak drastis pada tahun 1980, namun kemudian harganya kembali turun, hingga baru bisa menyamai harga awal pada tahun 2002, atau 26 tahun kemudian. Namun, setelah itu harga emas secara umum melonjak cukup drastis.
Namun, jenis investasi yang cukup ramai diperbincangkan dan dilakukan oleh masyarakat saat ini adalah investasi emas di perbankan syariah maupun di pegadaian syariah, baik dalam bentuk istilah “berkebun emas’, cicilan emas, maupun yang lainnya.

Secara umum, kita pasti sudah tahu apa yang namanya berkebun emas, karena seringnya diperbincangkan di dalam berbagai diskusi. Dalam berkebun emas, kita dapat berinvestasi emas hanya dengan modal sepertiga dari harga emas. Caranya, yaitu dengan menggadaikan emas yang kita miliki, agar mendapatkan dana dari pihak perbankan, lalu membeli lagi emas tersebut di tempat lain, dari modal yang kita dapatkan, dan kiita gadaikan lagi, begitu seterusnya, dilakukan secara berulang-ulang.

Keuntungan tersebut akan diperoleh, apabila setelah panen emas atau setelah kita menebus semua emas yang kita gadaikan, dan asumsinya, dana yang kita peroleh lebih besar dari modal yang kita keluarkan, tentunya setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang ada. Dalam melakukannya, masyarakat memilih perbankan syariah, maupun pegadaian syariah yang sekiranya menawarkan biaya titip yang paling murah, untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, bagaimanakah metode berkebun emas tersebut dalam pandangan islam?

Berbagai versi menyatakan pendapatnya masing-masing. Yang menghalalkan berkebun emas ini, mereka mengambil dalil dalam hukum islam secara umum, yaitu asas ibahah, dimana pada asasnya, segala sesuatu dalam hal bermuamalat boleh dilakukan, sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya. Secara umum, belum ada dalil yang mengharamkan metode berkebun emas ini. Apalagi, dengan diperkuat dengan adanya fatwa MUI Nomor 25 tentang rahn, dan juga nomor 26 tentang rahn emas, membuat pihak yang setuju dengan metode berkebun emas ini semakin mantap. Dengan jelas, MUI telah menghalalkan tentang rahn emas, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Namun, tidak sedikit yang menyatakan bahwa metode berkebun emas ini adalah haram, dan merupakan suatu penyimpangan dalam berbisnis yang islami. Jika dilhat dari akadnya, maka hal ini sudah sesuai syariah, karena mennggunakan akad beli dan gadai. Namun, dalam berkebun emas, permasalahannya bukan dari akadnya. Boleh jadi, akad yang digunakan adalah beli gadai. Namun, sistem yang dibangun secara keseluruhan di sini lebih menjurus ke investasi, dengan menggunakan akad gadai sebagai modal utamanya.

Nah dengan memanfaatkan kenaikan harga sebagai tujuan untuk mendapatkan keuntungan ini, apakah termasuk spekulasi? Setidaknya, motifasi kita dalam membeli emas ada 3. Yaitu trading emas dengan maksud konsumsi, seperti membeli emas sebagai salah satu perhiasan untuk kita pakai. Kedua trading emas dengan maksud utuk lindung nilai (hedging). Dan yang ke tiga adalah trading emas dengan maksud untuk spekulasi.

Jika tujuan investasi emas kita adalah untuk hedging, maka kita cukup membeli emas, lalu kita simpan emas tersebut. Bisa di rumah, maupun di perbankan, agar lebih terjamin. Namun, dalam berkebun emas ini motifnya lebih tertuju ke arah spekulasi, yakni dengan menggadaikannya secara berulang-ulang, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Dalam teori berkebun emas, seperti yang dikemukakan oleh Rully Kustandar misalnya, metode berkebun emas ini cocok untuk investasi jangka panjang, dengan asumsi kenaikan sekitar 30 persen per tahun. Namun, masyarakat lebih cenderung untuk menjual emasnya apabila harga emas tiba-tiba meningkat tajam. Hal seperti ini jelas-jelas adalah suatu spekulasi, dan haram hukumnya, terlepas dari banyaknya pendapat yang mempertanyakan bahwa spekulasi seperti apakah yang dihalalkan.

Yang jelas, berkebun emas lebih menjurus ke arah maysir (gambling), yaitu memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa bekerja keras/mendapatkan keuntungan tanpa kerja. Spekulasi atas kenaikan harga emas termasuk maysir, karena tidak prokuktif, dan tidak meningkatkan pasokan barang dan jasa. Hal ini jelas-jelas bahwa pelaku memperoleh suatu manfaat tanpa adanya usaha yang nyata, dan tidak seseuai dengan semangat dan keunggulan ekonomi Islam yang sangat menekankan tumbuhnya sektor riil secara wajar.

Kenaikan yang sangat tajam dari harga suatu aset (emas) merupakan tanda-tanda bahwa gelembung yang terjadi pada harga aset tersebut sudah mendekati titik jenuh. Semakin tinggi pohon yang dinaiki, semakin sakit ketika terjatuh. Semakin tinggi harga emas dan semakin banyak orang yang ikut membeli, maka akan semakin banyak korban ketika harga emas jatuh dan semakin besar kemungkinan krisis mengikuti.

Sehingga, Bank Indonesia berencana untuk membatasi investasi dengan model berkebun emas ini, tidak hanya secara moral dengan menghimbau perbankan syariah untuk membatasi produk gadai emasnya, tetapi, umungkin ke depannya juga akan dilakukan pembatasan dalam melakukan gadai emas di perbankan syariah, yakni maksimal hanya satu kali top up/ gadai saja untuk mencegah terjadinya bubble (penggelembungan) emas.

Boleh saja kita berinvestasi emas, asalkan jangan ikut-ikutan berperilaku spekulatif. Alangkah lebih baiknya jika kita menginvestasikan modal kita dalam bentuk riil dan produktif, untuk meningkatkan perekonomian kita.


* Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.