Minggu, 30 Oktober 2011

Peraturan Franchise
Hendi Dwi IstantoMinggu, 30 Oktober 2011 0 komentar


dikutip dari: Dwi Andi Rohmatika
Sebenarnya tulisan ini dibuat tidak lama setelah saya pergi ke salah satu booth tempat berjualan jus di Yoyakarta dan merasa malu karena meminta kembalian padahal uangnya pas (doh!). Singkat cerita, saya menyodorkan dua buah dua ribuan untuk segelas jus jambu. Biasanya booth dengan nama ini menjualnya seharga tiga ribu rupiah. Saya termasuk menjadi pelanggan setia booth berbeda dengan nama yang sama yang terletak di dekat kampus. Setelah saya menunggu agak lama, si Abang bilang kalau uangnya pas. Jelas saya kaget. Refleks, saya berujar, “Oh, bukannya biasanya tiga ribu ya, Bang? Merek ini yang di deket kampus segitu kok.”

Si Aban pun menjawab, “Iya, Neng. Tapi kalau di sini empat ribu rupiah. Yang di sana soalnya banyak kompetitornya, Neng. Jadi harganya lebih murah. Maaf ya, Neng.”

Masih agak melongo –bukan karena takjub si Abang yang bahkan bisa menggunakan kata kompetitor dengan fasih– saya pun bilang, “Iya, tak apa, Bang.” Sembari menggerutu tentang si empunya merek jus dan semua booth-booth jus ini dalam hati.

Atribut Wajib Franchise
Search di banyak mesin pencari dan “rules of franchise” akan banyak ditemukan di sana. Bahkan salah satu negara bagian Amerika memiliki hukum khusus tentang ini yang isinya tentu berlembar-lembar. Yang ingin saya tulis di sini bukan tentang franchise macam Starbucks yang sudah besar dan mapan itu, tetapi lebih kepada franchise ataupun usaha UMKM dengan jurus pemasaran berupa nama yang sama dan booth kecil-kecil, yang banyak bertebaran di Indonesia, terutama di Yogyakarta.

Pepatah “mutiplier effect” dari bisnis berjualan itu memang benar adanya. Misalnya, om saya yang seorang wirausahawan nyentrik sempat melakukan hitung-hitungan dengan “the power of quantity”. Artinya: walaupun keuntungan kecil, tapi jika semakin banyak cabang/outlet yang dibuka maka keuntungan semakin banyak pula. Contohnya, Mr. Burger yang ada di Yogyakarta, yang pernah saya sejajarkan dengan McD di Yogyakarta. Ternyata, Mr. Burger memakai strategi tanan gurita alias membuka banyak outlet yang kecil-kecil di mana saja agar penjualan terdongkrak. Dan ini sangat berhasil.

Mulailah muncul usaha-usaha lainnya yang menggunakan strategi yang sama dengan Mr. Burger. Masalahnya, terkadang pengalaman yang saya alami di atas belum menjadi perhatian dari banyak pengusaha kecil-menengah tersebut. Padahal, sistem ‘Word of Mouth” alias “nggambleh” di mana saja sekarang sangat menakutkan dengan adanya social network yang semakin canggih. Bisa-bisa pelanggan menulis pengalaman 
 buruknya dan berakibat pada penurunan penjualan (yang ini agak lebay tapi).

Jadi, hasil dari pertapaan saya tanpa membuka literatur apa pun, menghasilkan atribut wajib yang harus dimiliki franchise, misalnya:

1. Produk Dasar Harus Sama Persis dan Tersedia
Paling nggak produk dasar harus ada di mana-mana. Jangan sampai di outlet A jualan burger A, B, dan C tapi di outlet B hanya jualan burger A dan B. Niscaya pelanggan akan kecewa berat. Hanya saja untuk side products, semacam kentang goreng kalau di bisnis burger ini, tak selalu ada di setiap outlet tak apalah. Toh tak setiap pelanggan mencarinya.

2. Harga Harus Sama
Di mana-mana, biasanya harga produk itu sama. Kecuali memang jika sedang ada promosi. Tapi, petraturannya juga, promosi itu biasanya diketahui tanggal berakhirnya. Jika harga produk berbeda, apalagi untuk tipe produk yang elastis. Produk elastis itu apa? Intinya kalau harganya naik seribu perak saja, pembeli akan berpindah ke barang pengganti lain dengan mudahnya atau tak jadi beli. Misalnya, kalau untuk kasus jus saya tadi, bisa dianti dengan es cincau atau dawet. Bagaimana jika penjual berdalih, ongkos pengiriman bahan bakunya mahal, Mbak. Makanya outlet yang di nun jauh di sana lebih mahal. Kalau saya pembelinya, langsung saya jawab, NONSENSE, mas! Bahan bakunya kalau mahal ya bisa dibeli saja di dekat outletnya itu. Yang jelas ekspektasi pelanggan ketika dia ingin membeli produk itu di outletnya langsung, entah di manapun, adalah: kualitas sama, harga sama.

Memang ada beberapa item yang bisa dbedakan dalam hal cabang-outlet-franchise ini. Misalnya, jenis produk bisa ditambah, tetapi tidak menghilangkan produk dasarnya. Misalnya Starbucks di Jepang menjual produk kopi ditambah sejenis jeli yang mungkin tidak tersedia di Indonesia. Tapi dia tidak menghilangkan produk dasar seperti kopi latte biasa yang sudah pasti ada di manapun cabangnya. Atau perbedaan pada bentuk outlet, misalnya Starbucks juga di beberapa tempat di Eropa yang masih mempertahankan bentuk bangunan kuno yang dipakai. Yang pasti, saya sangat berharap kekecewaan yang saya alami tidak akan dialami lagi oleh konsumen lainnya.

Apa itu sanering/ redenominasi?
Hendi Dwi Istanto 0 komentar


sanering-rupiah-298x300dikutip dari: Aulia R.

Beberapa waktu lalu sempat BI sedang ramai mengkaji masalah redenominasi (sanering?). Diskusi ini pun tidak luput dari diskusi-diskusi di lingkungan saya. Sebagai seorang sarjana ekonomika yang belum diwisuda :) dan memang menyukai kajian moneter terutama soal uang, saya merasa harus membuat sebuah notes untuk mendiskusikanya. Ingin rasanya mendiskusikan hal ini di kelas kuliah, tapi apa daya, saya bukan mahasiswa lagi…Jadi salah satu caranya adalah dengan membuat notes. Note ini isinya pandangan saya dan juga sebenarnya sebuah pertanyaan kepada para pembaca soal isu ini. Karena sampai hari ini, saya berbeda pendapat dengan beberapa teman dalam mendiskusikan apa itu dan apa dampaknya. 

Baik isu dalam tulisan ini adalah 1) Apa itu sanering dan Redenominasi 2) Apakah sanering dan redenominasi beda atau sama? 3) Apakah buruk atau baik?

Apa itu sanering/redenominasi?
Nah, meskipun saya dan beberapa teman saya masih berdebat apakah sanering dan redenominasi itu sama atau berbeda, yah…pada intinya keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu sama-sama ada penguranganya nilai di atas kertas atas uang yang sedang beredar. Nah, misal uang Rp1000 kemudian diubah menjadi hanya senilai Rp500 atau Rp 1000 diubah menjadi hanya Rp1. Yup keduanya sama-sama mengubah “nama panggilan” dari sang uang. “Hei! Seribu rupiah apa kabar?” berubah menjadi “Hei satu rupiah apa kabar?”

Tapi apakah berbeda atau sama keduanya? Ini yang saya masih bingung. Tapi bagi saya keduanya berbeda. Kalau redenominasi itu adalah benar-benar pure mengubah nama panggilan, kalau sanering bagi saya bukan hanya mengubah nama panggilan, akan tetapi juga sampai ke daya beli.

Begini, kalau redenominasi, dulu lotek harga Rp 1000… ya pasca redenominasi, saya bisa membeli lotek dengan harga Rp 1. Jadi kalau saya punya uang awalnya Rp 1000 terus tiba-tiba berubah menjadi Rp 1 dan saya adalah penggemar lotek, saya tidak perlu khawatir, karena secara seketika itu pula sang penjual lotek mengubah harga jualnya jadi Rp 1. Kebutuhan perut saya pun aman. Daya beli saya tetap. Jadi ini adalah kebijakan berdampak teknis belaka (misal si tukang lotek harus membuat daftar menu-harga yang baru). Ok, lalu apa beda dengan sanering?

Pertama bagi saya sanering adalah salah satu KEBIJAKAN untuk mengurangi inflasi. Coba deh teman-teman buka buku Ekonomi SMA kelas 3, cari macam kebijakan-kebijakan yang digunakan dalam menahan laju inflasi, salah satunya adalah sanering. Salah satu cara mengurangi inflasi adalah mengurangi peredaran uang di masyarakat (sori, bagi yang non-ekonomi pasti akan bertanya mengapa? Tapi coba terima dulu bulat2 ya! :P ). Nah si sanering tadi tujuannya adalah memang benar-benar mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat. Misal uang beredar di masyarakat Rp 1000000000000 (alias satu triliun) terus sama pemerintah/BI, uang dipotong nilainya jadi setengah, jadi uang saya yang tadinya Rp 1000 jadi 500, maka secara agregat uang beredar jadi Rp 500000000000 (alias 500 miliar). Maka secara jelas kita melihat adanya penurunan seketika uang beredar di masyarakat dari 1 T ke 500M. Uang beredar menurun so… inflasi menurun (cateris paribus). Ok, sampai di sini paham?

Loh jadi asik dong, inflasi turun (bisa juga terjadi malah deflasi), harga turun? Eits,jgn senang dulu di sini daya beli kita juga benar-benar turun. Kalau di sini harga lotek tidak serta-merta turun jadi Rp 500 seperti halnya dalam kasus redenominasi. Harga lotek tetap Rp 1000. Jadi uang saya jadi sisa Rp 500, harga lotek tetap Rp 1000. Saya jadi cuma bisa makan lotek setengah porsi dong atau kalau nggak saya g bisa beli sama sekali. Nah, penjual A suatu saat berkata “Yah kalau gini caranya, saya g bisa bertahan, saya gulung tikar aja deh”, Penjual B, “Yah, kalau begini saya sih masih bisa bertahan, walau margin untung saya jadi kecil”. Artinya hanya akan tersisa penjual lotek dg daya jual yg mampu bertahan di harga 500. Nah! Harga di lotek di pasar akan benar-benar turun jadi 500 ya!, walau risikonya adalah byk pejual lotek yg lain yg bangkrut dan untung penjual lotek jadi menurun, ekonomi bisa jadi lesu. Nah, itu dia filosofi mengapa menurunkan uang beredar bisa membuat inflasi menjadi turun, sumbernya adalah “penurunan daya beli” masyarakat (semoga pembaca yg non-ekonomi bisa jadi paham kenapa dg mengurangi uang beredar akan membuat harga jadi turun).

Ohya, ada satu info yang saya dapat ketika saya mengunjungi museum BI di Jakarta. Jadi pada suatu masa periode pemerintahan (sori saya lupa, karena menulis dg tanpa google dan refrensi) diberlakukan sannering (Kalau tidak salah terkenal dengan istilah gunting Syarifudin ya?). Jadi dahulu Teknisnya cukup unik, uang kita benar-benar digunting jadi 2 bagian. Misal Rp 1000, digunting jadi dua, satu sisi ditukar ke bank jadi Rp 500 uang cetak baru, satu sisi bisa ditukarkan menjadi obligasi pemerintah senilai Rp 500. Nah, kalau teman-teman di ekonomi pasti tahu kalau salah satu mekanisme mengurangi jumlah uang beredar adalah dengan menjual obligasi ke masyarakat (yg biasanya akan dilengkapi dengan kebijakan peningkatan suku bunga agar memikat pembeli obligasi). Dari uang menjadi obligasi, uang beredar berkurang bukan? Nah, sanering model tadi itu semacam, “memaksa masyarakat untuk membeli obligasi pemerintah”. Tujuan satu: uang beredar menurun, inflasi menurun. Tapi cara ini mungkin lebih manusiawi karena di masa yang akan datang masyarakat akan menerima kembali uangnya. Sayangnya, mungkin di jaman itu tidak banyak orang yang tahu kalau satu sisi uangnya bisa ditukarkan menjadi obligasi pemerintah, jadi benar2 akan membuat daya belinya menurun. Jadi bedanya kalau redenominasi untuk hal teknis kalau sanering memang mengubah jumlah uang beredar.

Loh, bukannya kasus redenominasi di atas, si penjual lotek juga bisa tetap menjual Rp 1000, bahkan lebih parahnya, uang kita hanya Rp1 dan harga lotek tetap Rp1000. Waw! kita hanya bisa memakan seperseribu dari satu porsi lotek!!! Nah dari kasus ini juga saya bisa membedakan antara redenominasi dengan sanering adalah 1) Masalah perubahan angkanya 2) Kondisi rasio masyarakat 3) Situasi ekonominya.

Kalau dalam redenominasi biasanya pengubahan angkanya sangat drastis kalau sanering tidak drastis. Mengapa? Kalau redenominasi yang biasanya adalah tujuan teknis penulisan angka yang lebih mudah, maka tujuannya adalah bukan pengurangan “Jumlah uang beredar”, sehingga membuat perubahan angka drastis pun tidak akan masalah misal dari Rp 1000 menjadi 1. Lagi pula sangatlah gila bila pemerintah mengerdilkan daya beli masyarakatnya menjadi seperseribu kali! (jika maksudnya mengurangi jumlah uang beredar) Ekonomi bisa lumpuh total. Kalau sanering untuk penurunan jumlah uang beredar, saya ragukan akan sampai seperseribu kali, karena kebutuhan mengurangi uang jumlah yang beredar akan sangat jarang sebanyak itu. Biasanya hanya setengah atau mungkin sepertiga.

Nah, kembali ke pengubahan yang sederhana. Ini mudah diingat dan akan “menormalkan rasio” masyarakat. Ya, masyarakat tidak perlu khawatir nantinya harga lotek tidak bisa dibeli dengan Rp 1, misal tiba-tiba si penjual lotek ada yang nekat jual jadi Rp 1000, yah pasti gak ada yg beli lah! Bahkan kalau ada yang masih nakal jual di harga Rp 2 saja, masyarakat pasti akan bilang “Lah, bu, kok harganya naik to? Ini kan harusnya harganya jadi Rp 1 aja…wong dulu harga Rp 1000, harusnya kan jadi Rp 1”. Nah di sini poinnya, masyarakat akan mudah mengingat kalau Rp 1000 uang cetakan lama adalah Rp 1 dengan cetakan uang yang baru. Kalau tetap si penjual nekat jual Rp 2 yah paling2 ditinggal pembeli (asumsi pasar lotek adalah pasar persaingan sempurna, gimana kalau g persaingan sempurna? Iitu lain lagi ceritanya).

Nah kebijakan redenominasi pun pada akhirnya memang harus dilaksanakan pada periode ekonomi yang stabil, sehingga masyarakat tidak rancu dan berpikir macam-macam, apakah kebijakan ini adalah semata-mata mempermudah hal teknis dan bukannya karena ada situasi ekonomi sedang memburuk sehingga digunakan untuk mengurangi jumlah uang beredar dalam rangka menahan laju inflasi.

Untuk redenominasi, situasi yang saya bayangkan adalah nantinya pada awal-awal kebijakan redenominasi diterapkan seolah-olah akan ada 2 mata uang yang beredar di masyarakat. Satu cetakan uang lama dan cetakan uang baru. Misal Rp1000 menjadi Rp1, maka satu cetakan uang baru akan dinilai seribu uang lama (jadi semacam exchange rate dengan mata uang asing). Bisa jadi di toko-toko pun akan pasang 2 harga, harga dengan menggunakan pembayaran uang cetakan lama dan harga dengan pembayaran dengan uang cetakan yang baru. Tentu saja dengan nilai tukar yang terus konsisten, lama-kelamaan uang cetak lama akan hilang dari peredaran karena akan terjadi semacam “pembersihan” uang cetakan lama di peredaran pada wilayah bank (seperti halnya jika BI mengeluarkan cetakan pecahan uang baru, secara perlahan cetakan lama aka hilang dari masyarakat).

Tentu saja redenominasi menuntut banyak hal, misalnya kesiapan sistem pencatatan saldo nasabah di dunia perbankan. Karena di perbankan pencatatan tidak lagi berupa fisik tapi sudah angka-angka digital. BI dan pemerintah harus bisa memastikan saldo bank saya dari Rp 1000000 akan jadi Rp 1000. Pengubahan harus terjadi serempak atau kalau bisa ada satu hari khusus tidak boleh ada transaksi terjadi antar perbankan. Karena kesilapan sedikit saja akan berpotensi merugikan banyak pihak. Selain itu sosialisasi akan adanya redenominasi. Kalau masyarakat perkotaan tentu saja lebih mudah, tapi apakah pemerintah sudah pernah membayangkan di daerah pelosok? Apakah bisa dengan cepat mereka tahu kalau uang Rp1000 sudah sama dengan Rp1? Belum lagi potensi penipuan-penipuan lainnya. Akan tetapi saya yakin BI sudah mengkaji hal ini sebelumnya dan semoga segera tahu apa solusinya.

Lalu, apakah redenominasi itu baik atau buruk? Kalau hanya sekedar redenominasi, selama infrastruktur, sistem dan institusi keuangan serta masyarakat kita cukup mapan, tidak akan ada banyak masalah dengan redenominasi. Justru redenominasi akan memudahkan pencatatan dalam transaksi keuangan di negara kita. Tapi coba kita lihat sekarang…apakah mereka sudah siap?

Kemana Uang Saya?
Hendi Dwi Istanto 0 komentar



dikutip dari: Hilmy B.

Pada tahun 1980-an sepeda motor dapat dibeli dengan harga Rp2.000.000 saja. Motor yang didapat pun sudah keren untuk ukuran zaman itu, Honda Astrea. Sekarang di tahun 2011 atau kira-kira 20 tahun kemudian jika anda pergi ke showroom sepeda motor dan membawa uang Rp2.000.000 untuk membeli motor, anda akan ditertawakan oleh SPG yang cantik-cantik itu, alih-alih memberikan sebuah sepeda motor terbaru, anda hanya akan diberikan sebuah sepeda tanpa motor. Ya benar, 20 tahun yang lalu Rp2.000.000 bisa dibelikan sepeda motor, sekarang dengan nominal yang sama anda hanya bisa membeli sepeda tanpa motor!

Kemanakah uang kita? Siapa yang mencuri uang kita? Bank? Atau pemerintah? Pada suatu malam, saya mengikuti kajian tentang ekonomi keluarga. Dalam kajian itu dibahas sedikit mengapa harga-harga barang kita naik. Si guru menjawab dengan jawaban yang sederhana namun bermakna, kita saat ini hidup di sistem ekonomi perbungaan (interest economy, maaf ini sih istilah saya sendiri). Dimana bunga bank itu tersebar dimana-mana. Misal anda meminjam uang dari bank sebesar Rp100, dan bank mengenakan bunga atas pinjaman anda sebesar 3%, maka di akhir pinjaman anda harus mengembalikan Rp100 ditambah Rp3 sebagai bunga pinjaman. Berarti jumlah uang yang tadinya Rp100 menjadi R103, terjadilah kenaikan jumlah uang beredar. Bayangkan jika ada 1.000 orang yang meminjam Rp100, maka jumlah uang beredar yang awalnya Rp100.000 naik menjadi Rp103.000. Karena jumlah uang beredar naik, maka ada pihak yang mampu untuk membeli barang konsumsi lebih banyak (ada pula yang tidak mampu membeli) yang pada akhirnya permintaan akan barang konsumsi naik. Sesuai hukum permintaan, jika permintaan naik maka harga akan naik. Secara singkat, alur kejadian di atas bisa disimpulkan sebagai berikut:

Ekonomi bunga->Jumlah uang beredar naik->Daya beli naik-->Permintaan naik-->Harga naik
Kenaikan harga ini akrab disebut dengan inflasi dalam literatur ekonomi. Apakah kenaikan harga ini yang menyebabkan uang anda dicuri? Oh jelas, pencurinya tidak lain adalah kenaikan harga atau adalah inflasi. Inflasi inilah yang menyebabkan anda ditertawakan oleh SPG cantik ketika datang ke showroom sepeda motor, karena anda ngotot bahwa Rp2.000.000 sudah bisa beli motor.

Izinkan saya memberi satu contoh lagi ya. Di awal tahun 2005, dengan uang Rp1000 saya bisa beli 4 biji gorengan yang besar-besar secara ukuran. Namun jika di tahun 2011 ini saya datang ke tukang gorengan dengan membawa Rp1000, yang saya dapatkan hanya 2 biji gorengan dengan kualitas ketebalan tempe yang tipiis. Ya betul, lagi-lagi inflasi yang menyebabkan saya tak sekenyang dulu jika makan gorengan!

Oh ya, dari alur kejadian di atas, saya letakkan “Ekonomi Bunga” sebagai pemicu dari kenaikan harga, kok bisa ya? Ya bisa, karena inti dari ekonomi bunga atau perekonomian yang digerakkan oleh bunga adalah anda harus menambah uang lebih dari yang anda pinjam. Saya kasih contoh terakhir ya, alkisah di sebuah negara hiduplah 3 orang, Doni, Adi, dan Jaka. Doni dan Adi adalah orang biasa dan Jaka adalah produsen barang. Suatu saat Doni butuh pinjaman Rp1.000.000 kepada Adi, namun Adi memberikan syarat bunga 5% kepada si Doni. Doni pun setuju dan diakhir periode, dia mengembalikan sebesar Rp1.050.000. Nah karena si Adi sekarang punya kelebihan Rp50.000, maka Adi bisa membeli barang lebih banyak kepada si Jaka. Karena Jaka tahu bahwa si Adi punya kelebihan uang, maka ia menaikkan harga barangnya. Adi tak masalah dengan kenaikan harga dan mampu membeli, maka secara keseluruhan harga barang di negara tersebut naik akibat jumlah uang beredar naik. Bagaimana dengan nasib Dono, ah sial sekali si Dono ini, sudahlah dia harus menambah Rp50.000 sebagai bunga pinjaman, ditambah lagi harga barang ikut naik. Inilah sistem ekonomi bunga yang saat ini berlangsung di seluruh dunia, adanya si kaya dan miskin menjadi sesuatu yang sangat lumrah bukan?

Sabtu, 29 Oktober 2011

Krisis Hutang Pada Beberapa Negara
Hendi Dwi IstantoSabtu, 29 Oktober 2011 0 komentar

10 Negara penghutang terbesar - twps2 - StarFishApabila kita cermati secara seksama, ternyata bukan hanya Negara Indonesia saja yang memiliki hutang begitu banyak sehingga harus dibebankan kepada masyarakatnya secara tidak langsung, melainkan juga terjadi pada beberapa negara yang mengalami krisis hutang yang melanda pada beberapa Negara Eropa sehingga telah membuat sejumlah investor mengambil sikap waspada sebelum memutuskan berinvestasi. Hal itu terlihat dari pelemahan indeks harga saham gabungan dan nilai tukar rupiah.

Akan tetapi ditengah upaya yang dilakukan untuk keluar dari krisis keuangan global, banyak negara yang mencoba untuk meminta bantuan dari pemerintahan negara lain maupun lembaga keuangan guna memacu anggaran belanja, pinjaman, dan dalam beberapa kasus, menumbuhkan tingkat hutang pada pemerintah.

Pengeluaran yang defisit, sehingga menjadikan hutang pemerintah dan sektor swasta pada dasarnya merupakan hal yang normal bagi negara-negara barat. Namun ditengah krisis keuangan, beberapa negara menyadari bahwa posisi hutang mereka lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan negara lain. Hutang luar negeri yang merupakan perpaduan antara hutang, modal, dan bunga secara periodik harus dibayar oleh setiap pemerintah. Hutang tersebut bukan hanya berasal dari hutang pemerintah melainkan juga hutang yang dimiliki perusahaan maupun individu kepada kreditur diluar negeri.Hutang - twps2 - StarFish

Sebagai alat untuk mengukur tingkat hutang pada sebuah negara biasanya digunakan sebuah indikator rasio hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang dikalkulasikan dengan data terbaru dari Bank Dunia. Sejak pertama kali laporan ini dibuat pada bulan April 2009, situasi hutang disejumlah negara terbukti sangat berpengaruh pada kondisi pasar. Di sejumlah negara Eropa, tingkat hutang ini telah menyebabkan organisasi internasional dan investor surat hutang berupaya menekan pemerintah untuk memotong hutang publik melalui penanganan yang cermat dan menambah anggaran pemotongan belanja negara.

Seperti dikutip dari laman cnbc.com, bahwa negara-negara yang membutuhkan penanganan ini merupakan negara yang memiliki hutang pemerintah lebih besar pada porsi hutang luar negerinya. Diantara negara tersebut, salah satu yang banyak disorot adalah kelompok negara yang dikenal dengan istilah PIIGS yang terdiri dari Portugal, Irlandia, Italia, Yunani, dan Spanyol. Indonesia yang tercatat memiliki hutang luar negeri hingga bulan Agustus 2011 sebesar Rp. 1.744,34 triliun atau sekitar US$ 203,35 miliar tidak termasuk dalam daftar 20 negara penghutang terbesar didunia. Indonesia tercatat masih memiliki tingkat rasio hutang terhadap PDB sebesar 27,15 persen.

Berikut adalah daftar 10 besar Negara penghutang terbesar didunia :

 1. Amerika Serikat
Hutang luar negeri: 101,1 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$14,825 triliun
PDB 2009 : US$14,66 triliun
Utang luar negeri per kapita: US$48.258

2. Hungaria
Hutang luar negeri: 120,1 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$225,24 miliar
PDB 2009 : US$187,6 miliar
Utang luar negeri per kapita: US$22.739

3. Australia
Hutang luar negeri: 138,9 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$1,23 triliun
PDB 2010 : US$882,4 miliar
Utang luar negeri per kapita: US$57.641

4. Italia
Hutang luar negeri: 146,6 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$2,602 triliun
PDB 2010 : US$1,77 triliun
Utang luar negeri per kapita: US$44.760

5. Spanyol
Hutang luar negeri: 179,4 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$2,46 triliun
PDB 2010 : US$1,37 triliun
Utang luar negeri per kapita: US$60.614

6. Yunani
Hutang luar negeri: 182,2 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$579,7 miliar
PDB 2010 : US$318,1 miliar
Utang luar negeri per kapita: US$53.984

7. Jerman
Hutang luar negeri: 185,1 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$5,44 triliun
PDB 2010 : US$2,94 triliun
Utang luar negeri per kapita: US$51,572

8. Portugal
Hutang luar negeri: 223,6 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$552,23 miliar
PDB 2010 : US$247 miliar
Utang luar negeri per kapita: US$51.572

9. Prancis
Hutang luar negeri: 250 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$5,37 triliun
PDB 2010 : US$2,15 triliun
Utang luar negeri per kapita: US$83.871

10. Hong Kong
Hutang luar negeri: 250,4 persen dari PDB
Total utang luar negeri: US$815,65 miliar
PDB 2010 : US$325,8 miliar
Utang luar negeri per kapita: US$115.612. 


IFRS di Indonesia (Fundamental)
Hendi Dwi Istanto 0 komentar


PENDAHULUAN
            Akhir-akhir ini IFRS menjadi hot issue bagi akuntansitop manajemen perusahaan-perusahaan yang sudah Go Public dan para akademisi serta para auditor yang melakukan auditing terhadap laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang sudah menerapkan IFRS tersebut dalam pelaporan keuangannya.

            Di Indonesia sendiri standar akuntansi yang berlaku dan berterima umum adalah PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan). Standar akuntansi yang ada di Indonesia saat ini belum mengadopsi penuh standar akuntansi international (IFRS). Standar akuntansi yang digunakan di Indonesia masih mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun dalam beberapa pasal sudah dilakukan harmonisasi terhadap IFRS.


            Seiring dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan globalisasi menuntut adanya suatau standard akuntansi internasional yang dapat diterima dan dapat dipahami secara internasional, oleh karena itu muncullah suatu standard internasional yaitu IFRS. Dimana tujuan dari konvergensi ini adalah agar informasi keuangan yang dihasilkan dapat diperbandingkan, mempermudah dalam melakukan analisis kompetitif dan hubungan baik dengan pelanggan, supplier, investor dan kreditor. Indonesia sebagai negara yang terus berkembang dan banyaknya transaksi internasional yang dilakukan mengharuskan Indonesia untuk melakukan konvergensi terhadap IFRS. 

Dengan dibuatnya satu standar akuntansi yang sama dan digunakan oleh seluruh negara akan semakin mendorong investor untuk masuk dalam pasar modal seluruh dunia, hal ini dikarenakan mutu dari laporan keuangan yang dihasilkan memiliki kredibilitas tinggi, pengungkapan yang lebih luas, informasi keuangan yang relevan dan akurat  serta dapat diperbandingkan dan satu lagi yang sangat penting adalah dapat berterima secara internasional dan mudah untuk dipahami.

            Namun dalam prosesnya terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam melakukan konvergensi ke IFRS ini. Mulai dari perbedaan budaya tiap negara, perbedaaan sistem pemerintahan, perbedaan kepentingan antara perusahaan serta tingginya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan prinsip akuntansi.

            Konvergensi PSAK ke IFRS  di Indonesia sendiri akan berlaku efektif dan full adoption pada tahun 2012. Lalu muncul pertanyaan apakah Indonesia sudah siap untuk mengadopsi IFRS?, Kenapa harus dilakukan konvergensi ke IFRS? Dan apa kesulitasn yang dihadapi terhadap adopsi IFRS ini?


PEMBAHASAN
1.      IFRS (International Financial Reporting Standard)

IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar akuntansi ini disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasional (IFAC).

Natawidnyana (2008) menyatakan bahwa sebagian besar standar yang menjadi bagian dari IFRS sebelumnya merupakan International Accounting Standard (IAS). Kemudian IASB mengadopsi seluruh IAS dan melanjutkan pengembangan standar yang dilakukan.

Secara keseluruhan IFRS mencakup:

a.      International Financial Reporting Standard (IFRS) – standar yang diterbitkan setelah tahun 2001
b.      International Accounting Standard (IAS) – standar yang diterbitkan sebelum tahun 2001
c.       Interpretations yang diterbitkan oleh International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) – setelah tahun 2001
d.      Interpretations yang diterbitkan oleh Standing Interpretations Committe (SIC) – sebelum tahun 2001

Secara garis besar standar akuntansi mengatur 4 hal pokok:

a.      Definisi laporan keuangan atau informasi lain yang berkaitan

Definisi digunakan dalam standar akuntansi untuk menentukan apakah transaksi tertentu harus dicatat dan dikelompokkan ke dalam aktiva, hutang, modal, pendapatan dan biaya.

b.      Pengukuran dan penilaian

Pengukuran dan penilaian digunakan untuk menentukan nilai dari suatu elemen laporan keuangan baik pada saat terjadinya transaksi keuangan maupun pada saat penyajian laporan keuangan.

c.       Pengakuan

Kriteria ini digunakan untuk mengakui elemen laporan keuangan sehingga elemen tersebut dapat disajikan dalam laporan keuangan

d.      Penyajian dan pengungkapan laporan keuangan

Peyajian dan pengungkapan laporan keuangan digunakan menentukan jenis informasi dan bagaimana informasi tersebut disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan.

2.      Konvergensi IFRS di Indonesia

a.      Perkembangan Standar Akuntansi di Indonesia

1.      Tahun 1973 – 1984: Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) membentuk komite untuk menetapkan standar-standar akuntansi, yang kemudian dikenal dengan Prinsip-Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).

2.      Tahun 1984 – 1994: komite PAI melakukan revisi mendasar PAI 1973 dan kemudian menerbitkan Prinsip Akuntansi Indonesia PAI 1994. Menjelang akhir tahun 1994 Komite Standar Akuntansi memulai suatu revisi besar atas prinsip – prinsip akuntansi Indonesia dengan mengumumkan pernyataan – pernyataan standar akutansi tambahan dan menerbitkan interpretasi atas standar tersebut. Revisi ini menghasilkan 35 peryataan standar akuntansi keuangan, yang sebagian besar adalah hasil harmonisasi dengan IAS yang dikeluarkan oleh IASB.

3.      Tahun 1994 – 2004: perubahan patokan standar keuangan dari US GAAP ke IFRS. Hal ini telah menjadi kebijakan Komite Standar Akuntansi Keuangan untuk menggunakan International Accounting Standards sebagai dasar membangun standar keuangan Indonesia. Pada tahun 1995, IAI melakukan revisi besar untuk menerapkan standar – standar akuntansi baru, IAS mendominasi isi dari standar ini selain US GAAP dan dibuat sendiri.

4.      Tahun 2006 – 2008: dilakukan konvergensi IFRS tahap 1. Sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terus direvisi secara berkesinambungan, proses revisi ini dilakukan sebanyak enam kali, yakni 1 Oktober 1995, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, 1 Juni 2006, 1 September 2007 dan 1 Juli 2009. Sampai dengan 2008 jumlah IFRS yang diadopsi baru 10 standar.


Roadmap konvergensi IFRS di Indonesia


IFRS / IAS yang sudah diadopsi hingga saat ini:

IFRS / IAS yang telah diadopsi ke dalam PASK hingga 31 Desember 2008
IAS 2
Inventories
IAS 10
Events after balance sheet date
IAS 11
Construction contracts
IAS 16
Property, plant and equipment
IAS 17
Leases
IAS 18
Revenues
IAS 19
Employee benefits
IAS 23
Borrowing costs
IAS 32
Financial instruments: presentation
IAS 39
Financial instruments: recognation and measurement
IAS 40
Investment propert

IFRS / IAS yang telah diadopsi ke dalam PASK pada tahun 2009
IFRS 2
Shared-based payment
IFRS 4
Insurance contracts
IFRS 5
Non-current assets held for sale and discontinued operations
IFRS 6
Exploration for and evaluation of mineral resources
IFRS 7
Financial instruments: disclosure
IAS 1
Presentation of financial statements
IAS 27
Consolidated and separate financial statements
IAS 28
Investments in associates
IFRS 3
Business combination
IFRS 8
Segment reporting
IAS 8
Accounting policies, changes in accounting estimates and errors
IAS 12
Income taxes
IAS 21
The effects of charges in foreign changes rates
IAS 26
Accounting and reporting by retirement benefit plans
IAS 31
Interests in joint ventures
IAS 36
Impairment of assets
IAS 37
Provisions , contigent liabilities and contigent assets
IAS 38
Intangible assets

IFRS / IAS yang telah diadopsi ke dalam PASK pada tahun 2008
IAS 7
Cash flow statements
IAS 20
Accounting for goverment grants and dislosure of goverment assistance
IAS 24
Related party disclosure
IAS 29
Financial reporting in hyperinflationary economics
IAS 33
Earning per share
IAS 34
Interim financial reporting
IAS 41
Agriculture

3.      KENDALA KONVERGENSI PSAK KE DALAM IFRS
a.      Dewan standar kauntansi yang kurang sumberdaya
b.  IFRS berganti terlalu cepat sehingga ketika masih dalam proses adopsi satu standar IFRS dilakukan, pihak IASB sudah dalam proses mengganti IFRS tersebut
c.  Kendala bahasa, karena stiap standar IFRS harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan seringkali ini tidaklah mudah
d.      Infrastruktur profesi akuntansi yang belum siap
e.      Kesiapan perguruan tinggi dan akuntan pendidik untuk berganti acuan ke IFRS
f.        Support pemerintah terhadap issue konvergensi

4.      MANFAAT KONVERGENSI IFRS
a.      Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional
b.      Meningkatkan arus investasi dlobal melalui transparansi
c.    Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raisingmelalui pasar modal secara global
d.      Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan
e.    Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain, mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management

Contoh Laporan Keuangan Dengan Berpedoman Pada IFRS



PENUTUP

            SAK indonesia direncanakan akan mengadopsi penuh IFRS pada tahun 2012, hal ini diharapkan akan semakin membawa perusahaan – perusahaan di Indonesia dapat bersaing dengan perusahaan internasional lainnya. Karena dengan melakukan adopsi ini tentunya penyajian laporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan juga akan semakin akuntabel dan transparan.

            Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam menerapkan full adoption terhadap IFRS, namun demi kepentingan semakin terciptanya proses akuntansi yang semakin baik IFRS harus diterapkan.

            Bagi akademisi tentunya juga harus mempelajari secara mendalam tentang IFRS ini, dengan harapan akan tersedia sumberdaya yang memadai untuk semakin membawa ke arah yang positif dari adopsi IFRS ini.


DAFTAR PUSTAKA

Anjasmoro, Mega. 2010.  Adopsi  International Financial Repot Standard: “Kebutuhan atau Paksaan?” Studi Kasus Pada PT Garuda Airlines Indonesia. Skripsi. Universitas Diponegoro

Gamayuni, Rindu Rika. 2009. Perkembangan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia Menuju International Financial Reporting Standards. DalamJurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 14, No. 2, pp. 153-166.

Zamzami, Faiz. Perkembangan Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) di Indonesia.